"DLHKP PBD dan BRIDA PB FGD Bahas Dokumen Kajian Implementasi Perdagangan Karbon" dok.brida_mediapapuabarat
BridaNews_Sorong, - Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya bekerjasama dengan Badan Riset dan Inovasi Daerah Provinsi Papua Barat menggelar Focus Group Discussion terkait Penyusunan Dokumen Kajian Implementasi Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan di Provinsi Papua Barat Daya, di Hotel Belagri Sorong, Senin (18/11/2024).
Berdasarkan SK. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 783/ MENLHK-II/2014, Provinsi Papua Barat Daya merupakan salah satu daerah yang memiliki kawasan hutan dengan tutupan hutan yang luas, dengan luas kurang lebih 3.476.891 ha (88,59%) dari luas wilayah daratan dengan proporsi terbesar merupakan hutan konservasi.
Tutupan hutan yang luas ini menjadi potensi secara nasional dan daerah karena selain berperan penting dalam pencapaian target FOLU Net Sink 2030 di sisi lain mempunyai potensi nilai ekonomi karbon dan peluang untuk implemantasi perdagangan karbon (carbon trade).
Kajian Implementasi perdagangan karbon bertujuan untuk mengkaji kondisi eksisting potensi cadangan karbon, peluang dan tantangan implementasi perdagangannya serta alternatif mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing) yang akan diterima secara langsung oleh daerah dan masyarakat adat dari skema perdagangan karbon di Provinsi Papua Barat Daya. Kegiatan FGD ini dilakukan untuk mendapatkan saran dan masukan dari para pemangku kepentingan sekaligus memboboti dokumen yang telah disusun.
"Sambutan Kepala Dinas LHKP Julian Kelly Kambu, ST, M.Si" (dok.brida_mediapapuabarat)
Dalam sambutannya ketika membuka kegiatan FGD Kepala Dinas LHKP Julian Kelly Kambu, ST, M.Si menyampaikan bahwa Provinsi Papua Barat Daya sejak tahun 2023 kurang lebih sudah ada 9 perusahaan yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi gubernur terkait bisnis karbon dan semuanya belum mendapatkan rekomendasi sebelum dokumen kajian terkait pengelolaan karbon di Papua Barat Daya ini diselesaikan. “Melalui FGD hari ini semua pihak yang hadir dapat berdiskusi, memberi saran dan sumbangsi pikiran untuk melengkapi penyusunan dokumen kajian sehingga dapat menjadi rujukan terkait pengelolaan karbon di Provinsi Papua Barat Daya,” jelas Kambu yang selanjutnya membuka kegiatan dengan menabuh tifa.
Mengawali FGD Kepala BRIDA Papua Barat Prof. Dr. Charlie D. Heatubun, M.Si dalam arahannya menyampaikan bahwa Papua Barat Daya sebagai Provinsi yang baru dimekarkan dari Papua Barat, sudah sepakat bahwa Pembangunan Berkelanjutan itu merupakan satu kebijakan yang akan diambil dan tentunya membutuhkan kerjasama semua pihak untuk mensukseskan inisiatif maupun tujuan dari pembangunan berkelanjutan.
"Sambutan Kepala BRIDA Papua Barat Prof. Dr. Charlie D. Heatubun, M.Si" (dok.brida_mediapapuabarat)
“Potensi hutan dan laut yang ada perlu dikelola dengan baik karena hutan berpengaruh penting terhadap situasi atau kondisi planet bumi kita. Dengan kondisi gas rumah kaca yang dihasilkan sampai saat ini belum ada teknologi yang dihasilkan untuk mengurangi apa yang sedang kita upayakan saat ini bersama-sama, dan teknologi yang ada dan paling murah adalah tetap menjaga hutan kita dan juga menanam pohon sebanyak-banyaknya,” tambah Prof Heatubun.
Lanjutnya kalau fokus pada potensi karbon yang di Papua Barat Daya ini merupakan suatu potensi yang kita katakan sebagai aset alam atau modal alam yang harus dikelola dengan baik untuk membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi orang banyak terutama bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat.
Prof Heatubun juga menjelaskan bahwa berdasarkan pengalaman Provinsi Papua Barat telah mengusulkan proposal untuk mendapat insentif dari upaya menjaga hutan, sehingga dua tahun yang lalu Papua Barat telah menerima Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan, yang mana telah memasukkan indeks tutupan hutan sebagai bagian dari perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk transfer fiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten.
"Penyampaian materi oleh tim ahli Dr. Ir. Jonni Marwa, S.Hut, M.Si yang juga merupakan Dekan Fakultas Kehutanan UNIPA" (dok.brida_mediapapuabarat)
“Selain dengan DAU, skema lain yang juga bisa langsung diarahkan untuk memberikan keuntungan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat adat diantaranya ada skema berdasarkan pasar (market-based skin) yang dikenal dengan mekanisme perdagangan atau penjualan karbon dan skema lainnya juga bisa melalui pendanaan langsung dari mitra-mitra internasional yang konsen terhadap daerah yang yang mempunyai inisiatif untuk menjaga hutan dan melestarikan tutupan hutan,” jelas Prof Heatubun yang juga salah satu anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kepala BRIDA Papua Barat juga menegaskan bahwa merupakan suatu kesempatan dan terobosan bagi Papua Barat Daya yang telah berinisiatif mengambil bagian dan juga menjadi provinsi terdepan di Tanah Papua yang mau berpikir dan secara strategis menyusun satu protokol ataupun SOP untuk mengatur potensi yang ada ini untuk masa depan. “Tentunya ini akan diikuti dengan proses legislasi untuk menetapkan Peraturan Daerah (PERDA) yang menjadi arahan bagi pengelolaan hutan dan juga potensi Blue Carbon yang ada di Papua Barat Daya sesuai jargon kita “masyarakat sejahtera hutan lestari” bukan sebaliknya,” jelas Guru Besar Bidang Botani Hutan Unipa.
"Penyampaian materi Prof. Dr. Agustinus Murdjoko, S.Hut, M.Si" (dok.brida_mediapapuabarat)
Selanjutnya dalam sesi FGD tim ahli Dr. Ir. Jonni Marwa, S.Hut, M.Si yang juga merupakan Dekan Fakultas Kehutanan UNIPA dan Prof. Dr. Agustinus Murdjoko, S.Hut, M.Si menyampaikan materi terkait Implementasi Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan di Provinsi Papua Barat Daya yang dimoderatori oleh Kepala Bidang Ekonomi Pembangunan BRIDA Papua Barat Haerul Arifin, S.Hut, M.Si. Perwakilan peserta yang hadir diantaranya perwakilan BBKSDA Papua Barat, BPHLHK PAPUA, PSKL Sekwil II, Perwakilan Mitra Pembangunan diantaranya Yayasan EcoNusa, GIZ Forclime, Konservasi Indonesia, UNVIC dan beberapa media diantaranya RRI Magang, INews dan Kompas TV.
Beberapa catatan penting dari hasil diskusi adalah pertama, cakupan wilayah hutan adat di Tanah Papua sebagian besar belum teregistrasi dan belum mendapat pengakuan secara legal standing oleh pemerintah yaitu melalui SK. Masyarakat Hukum Adat atas wilayahnya yang harus dikejar agar tahap selanjutnya dapat didorong untuk tahap potensi perdagangan karbon. Kedua, perlunya standarisasi dan validasi nilai karbon di Papua yang memerlukan kolaborasi multi institusi secara terbuka khususnya dengan lembaga-lembaga riset, terkait akurasi perhitungan karbon yang secara ilmiah terus berkembang, sehingga hasil pengembangan metode ilmiah yang sudah terpublikasi ini dapat menjadi tolak ukur bahkan menjadi klaster khusus di wilayah Papua. Ketiga, memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menjadi jargon untuk menentukan pilihan-pilihan dalam pembangunan ekonomi salah satunya pemberdayaan masyarakat adat melalui potensi pengembangan komoditas unggulan non deforestasi yang juga menjadi alternatif agar menjadi dasar untuk perbandingan dan pilihan dalam pengelolaan hutan di Tanah Papua. (ars/brida_mediapapuabarat)